Kamis, 31 Januari 2008

Terjebak Mall dan Kafe

"Apa iya sampai kakek-nenek nanti kita terus menerus jalan dari mall ke mall dan kafe ke kafe?"
"Iya, jangan-jangan matinya juga di mall. Serangan jantung akibat kelebihan kolesterol, di Starbucks?"

Lantas kami tergelak bersama. Di tengah suasana sebuah mall pinggiran Jakarta yang lengang tengah hari bolong. Kami bingung, mati gaya. Tempat kencan mana lagi yang bisa kami datangi? Mau ke luar kota, jauh dan macet. Mau ke Ragunan, panas.

Ke taman-taman kota, wah tetap panas, polusi, dan tidak ada privasi. Terbayang sedang ngobrol tau-tau didatangi pengamen, pedagang asongan, peminta sumbangan, atau bahkan bisa-bisa preman?
Oh Jabodetabek, dimanakah tempat nyaman untuk bersantai selain mall dan kafe?

Senin, 21 Januari 2008

A Moment of Happiness,

A moment of happiness,
you and I sitting on the verandah,
apparently two, but one in soul, you and I.

We feel the flowing water of life here,
you and I, with the garden's beauty
and the birds singing.

The stars will be watching us,
and we will show them
what it is to be a thin crescent moon.

You and I unselfed, will be together,
indifferent to idle speculation, you and I.

The parrots of heaven will be cracking sugar
as we laugh together, you and I.

In one form upon this earth,
and in another form in a timeless sweet land.

Kulliyat-e Shams, 2114 by Jallaludin Rumi.

Sabtu, 19 Januari 2008

Pedagang dan Darwis Kristen

Karena berada dalam kesukaran, seorang pedagang yang sangat kaya dari Tabriz (Iran) pergi ke Konya (Turki) mencari orang yang teramat bijaksana. Setelah mencoba mendapat nasehat dari para pemuka agama, hakim, dan lain-lain, ia mendengar tentang Jalaludin Rumi, ia pun dibawa menghadap Sang Bijaksana itu.

Pedagang itu membawa lima puluh keping uang emas sebagai persembahan. Ketika dilihatnya Sang Maulana di ruang tamu, pedagan itu menjadi sangat terharu. Jalaludin Rumi pun berkata kepadanya,
"Lima puluh keping uang emasmu diterima. Tetapi kau telah kehilangan dua ratus, itulah alasan kedatanganmu kemari. Tuhan telah menghukummu, dan menunjukkan sesuatu kepadamu. Sekarang segalanya akan beres." Pedagang itu terheran-heran terhadap yang diketahui Sang Maulana. Rumi melanjutkan.
"Kau mendapat banyak kesulitan karena pada suatu hari nun jauh di negeri Barat sana, kau melihat seorang darwis Kristen terbaring di jalan. Dan kau meludahinya. Temui dia dan minta maaf padanya, dan sampaikan salam kami kepadanya."

Ketika pedagang itu berdiri ketakutan karena ternyata segala rahasianya telah diketahui, Sang Maulana itupun berkata, "Perlukah kami tunjukkan orang itu padamu?" Rumi menyentuh dinding ruangan itu, dan pedagang itupun menyaksikan gambar orang suci itu di sebuah pasar di Eropa. Iapun terhuyung-huyung pergi meninggalkan Sang Bijaksana, tercengang-cengang.
Segera saja ia mengadakan perjalanan menemui ulama Kristen itu, dan ditemuinya orang suci tersebut telungkup di tanah. Ketika didekatinya, darwis Kristen itupun berkata, "Guru kami Jalal telah menghubungi saya."

Pedagang itu melihat ke arah yang ditunjukkan darwis tersebut, dan menyaksikan-dalam gambar-Jalaludin sedang membaca kata-kata semacam ini, "Tak peduli kerikil atau permata, semua akan mendapat tempat di bukit-Nya, ada tempat bagi semuanya..."

Pedagang itupun pulang kembali, menyampaikan salam darwis Kristen itu kepada Jalal, dan sejak itu tinggal dalam masyarakat darwis di Konya.

Jumat, 18 Januari 2008

Mengakses Tuhan Tanpa Server Agama

Kami masih tak habis pikir kenapa perbedaan agama selalu jadi ujung tombak beragam persoalan yang ada di muka bumi. Sejak awal kami sudah cukup berbusa-busa membahas agama ini. Pada dasarnya Tuhan itu bisa diakses oleh siapa saja tanpa harus melalui agama sebagai servernya. Bahkan konflik agama yang banyak terjadi di muka bumi itu kami yakini sebagai ulah manusia pribadi, tanpa campur tangan Tuhan.

Sampai kemarin sore pun kami masih sepemikiran bahwa bisa jadi Muhammad, Yesus dan Buddha jika masih hidup akan marah sebab ajaran mereka sudah diplesetkan sedemikian rupa oleh umatnya yang tidak bertanggungjawab.

"Jika Amerika itu benar penganut Kristen, lantas kenapa mereka jadi negara yang gap sosialnya begitu tinggi? Jika Indonesia benar penganut Islam, mengapa negara kita seperti ini?"

Bicara soal agama di banyak telinga awam selalu memancing perdebatan yang dilandasi fanatisme, sensitifitas luar biasa, yang bukan tak mungkin memicu konflik panjang tiada akhir. Bisa saling menebas pedang dan menghalalkan pembunuhan satu sama lain.

Kami sendiri adalah pasangan yang berbeda agama. Di negara seperti Indonesia, dimana pernikahan berebeda agama tidak dilegalkan, lumayan menghadirkan tanda tanya juga.
Seorang sahabat menasihati ada bagusnya jangan menikah mengikuti satu prosedur agama secara terpaksa di satu pihak. Jangan munafik, berpura-pura mengamini satu seremonial agama yang bukan agama kita padahal dalam hati kita tidak mengakuinya. Sebuah advis berharga.

Agama itu sesungguhnya masalah pribadi, sangat pribadi. Kenapa negara selama ini pusing mengatur bahwa seseorang harus beragama dan mencantumkannya di KTP? Agar jika meninggal jelas akan dikuburkan dengan seremonial apa? Lantas apakah arwah manusia akan pusing jika salah seremonial? Arwahnya akan penasaran dan kesasar ke alam lain jika didoakan dengan doa agama yang berbeda dengan yang dianutnya?

Hmm sehebat itukah manusia sampai doa yang diucapkannya bisa menentukan perjalanan roh manusia lain?
Kalau sudah urusan kematian, maka itu Tuhan punya kuasa. Itu jika Anda percaya Tuhan ada. Jika Anda berkeras bahwa matinya manusia harus didoakan dengan doa agama tertentu, Anda justru tidak percaya Tuhan bukan? Anda lebih percaya bada kekuatan doa Anda daripada kekuasaan Tuhan???

Duh, Anda lupa ya kalau manusia itu hanya onggokan daging busuk jika arwahnya sudah terlepas dari badan.

Memulai Berjalan Bersama

Setelah sekian "abad" berjalan sendiri, akhirnya saya temukan juga seseorang yang bisa diajak berjalan bersama. Saya memang bukan tipe orang yang senang dinasihatin, diceramahi. Apalagi oleh keluarga atau orangtua. Namun kali ini entah kenapa di telinga saya mendadak saya ceramah dan nasihat itu terdengar merdu.
Bukan keluarga memang. Tapi mereka sudah seperti keluarga bagi saya. Kebetulan juga mereka adalah orang-orang hebat di bidangnya.

"Soal beda agama itu harus dibahas sejak awal, Mer. Bukannya saya sok tahu atau apa. Tapi itu penting, daripada nyesal di kemudian hari," ujar seorang pakar IT yang terkenal dengan kumis lebatnya.

"Nikah saja di Denmark, di sana itu gampang banget prosedurnya, lebih gampang dari Jerman," celetuk karib yang jauh di benua seberang.

"Kudoakan langgeng ya Nduk, asal jangan grusa-grusu saja," ujar teman lain lagi.

"Yang penting kepercayaan, komitmen dan komunikasi," advis datang dari sahabat lainnya.

"Saya senantiasa berdoa untuk kebahagian Merry, Libby dan sekarang nambah lagi... Arli ! Semoga Tuhan melimpahkan kasih-Nya," ucapan selamat dari seorang sahabat yang sudah menjadi figur ayah saya sendiri.

"Wish all the best for the both of you," SMS dari seorang karib.

"Jangan mencintai orang terlalu dalam, sebab jika tak kesampaian akan sakit nantinya," nasihat lain lagi.

"Nikmati saja Mer, jangan mikir yang nggak-nggak," seorang teman mencoba mendamaikan hati saya yang agak paranoid.

Dan banyak sekali ucapan selamat, doa, harapan, advis, dari teman-teman yang sudah menjadi keluarga besar saya.

Terlalu lama berjalan sendiri, lantas kini berjalan berdua, memang tidak mudah. Ada banyak hal harus disesuaikan, dipadupadankan. Tapi sejak awal kami memang sudah merasa sepadan dan sepemikiran.
Terlalu cepat untuk bicara soal masa depan? Tidak juga, sebab kami bukan ABG atau mereka yang membina hubungan berdasar "lihat saja nanti". Kami memang baru resmi jadian belum ada sebulan, namun sesungguhnya usaha saling mengeksplorasi apa yang ada di benak pemikiran kami sudah terjadi lama sebelum itu.

Rabu, 16 Januari 2008

Love, Finally...

Maaf kalau akhirnya postingan di blog ini kelamaan jadi sedikit "melow". Sebab memang diskusi kami di email yang kami posting di sini sudah tidak dilanjutkan lagi. Apa pasal?
Diskusi meluas ke banyak hal yang tak bisa lagi dipublikasikan, sebab kami terlalu bebas bicara soal politik, sains, komunisme, sosialisme, filsafat, agama, yang dengan penuh pertimbangan diputuskan tidak akan kami publish lagi.

Dan kebetulan diskusi-diskusi itu mengarah ke relationship antara kami yang jauh lebih personal.

Ya, 28 Desember 2007 kemarin kami resmi berkomitmen untuk terus berjalan bersama.

Surprise? Ya, bagi kami sendiri pun begitu. Sebab kami awalnya hanya saling mengenal di dunia maya, berkoresponden di email. Akhirnya berlanjut ke diskusi yang melebar ke banyak hal. Kami bicara tentang apa saja yang ada di pikiran kami. Kami bicara tentang ide-ide, mimpi-mimpi kami. Akhirnya kami menemukan banyak kesamaan. Dan berlanjut di dunia nyata.

Kami sepakat untuk tetap menjadi idealis, tidak egois, walau sudah menjadi pasangan. Bahkan kelak jika Tuhan mempersatukan kami dalam pernikahan, kami tetap ingin menjadi manusia yang banyak berbuat bagi sesama. Kami yakin, antara kehidupan pribadi dan sosial bisa sejalan selama kami memiliki komitmen kuat untuk mempertahankannya. Antara idealisme dan profesionalisme juga bisa tetap seirama.

Mungkin kami bukan Frida Kahlo dan Diego Rivera
Bukan Simone de Beauvoir dan Jean-Paul Sartre
Bukan May Ziadah dan Kahlil Gibran
Bukan Marrie Currie dan Peter Currie
Bahkan mungkin kami lebih dari mereka
Sebab kami saling menerima satu sama lain dan mencoba menghadapi hidup ini bersama di dalamnya

Semoga..

Love and Work

Work is love made visible. And if you cannot work with love but only with distaste, it is better that you should leave your work and sit at the gate of the temple and take alms of those who work with joy.

(Kahlil Gibran)

Just believe that our love will make all of our works run better, clearer and smarter..

Love is..

Love is....


Love is like the wind whirling in the ocean
Love is like the sound of thunder in the plains
Love is like the whirling tornadoes which struck the land.
Love is like the earthquake which hampering our existence
Love is like the condor claws which took us away to the morning sky
Most of all, loving you is all much simpler
It only requires the acceptance of our selves
as it is.