Yah..seperti itulah, saya setuju dengan Pater Drost. Dulu, sewaktu sistim pendidikan kita berkiblat ke Belanda, hasilnya..luar biasa! Kita lihat, orang Indonesia yang lulus HBS atau MULO saja sudah bisa cuap-cuap Bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman. Intelektual founding father kita adalah didikan sistim Belanda semua. Tapi sekarang...semenjak neo liberalisme Amerika @#!& itu menguasai sistim pendidikan kita, yah....habis semua. Bahasa Inggris saja, sudah tingkat mahasiswa, masih kesulitan. Satu-satunya parameter yang berkuasa adalah...uang. Lihat saja kalo Bambang Sudibyo itu pidato atau interview, semuanya ujung-ujungnya duit juga. Bukan kebetulan, bahwa Bambang Sudibyo itu lulusan Amerika.
Entar kalo ada yang perlu jurnalis atau editor tak kasi tau yaph?
Senin, 19 November 2007
Kedokteran dan Kemanusiaan 4
Kebetulan sy pernah ngobrol dgn Pater Drost.Di Belanda,sejak SMP sudah
ada jurusan sesuai bakat.Di SMA sudah ketahuan siapa yg layak lanjut
kuliah atau ikut training ketrampilan kerja. Walau kaya raya,jika tes
bakat menunjukan secara intelektual ia tak layak kuliah,maka ia ikut
training ketrampilan kerja.Walau miskin,seorang siswa berpontensi bisa
kuliah setinggi mungkin dibiayai negara.Jadi perguruan tinggi tak melulu org
kaya atau tiap org kaya selalu kuliah seperti di Indonesia. Gelar
sarjana bukan jadi simbol prestise,tapi memang karena sesuai dgn otaknya.
Betul,Indonesia kebanjiran ekonom & insinyur sebab 2 bidang itu
dianggap jalan pintas menuju kekayaan.
Trims doanya,
Arli.Gaji jurnalis tak bisa tinggi.Jika kreatif dgn network,jurnalis
bisa sukses di luar institusinya.Oprah & Larry sukes berkat itu.Sy sedang
berjuang ke situ.Menulis buku & ngelola beberapa web klien adalah side
job sy di luar SH. Stt saya lagi cari klien baru nih ..he he.Lho malah
ngiklan?
Kemanusiaan dan Kedokteran 3
Di China, yang menentukan carrier path seorang sarjana adalah negara. Pada waktu lulus SMA, seorang siswa China memiliki dua cara untuk memasuki perti. Pertama, ikut tes standar (sejenis umptn) untuk masuk jurusan favorit dia, dan kemudian bayar mahal untuk sekolah di uni. Kedua, ikut tes spesial (psikotest) untuk ditentukan (oleh negara) jurusan yang paling cocok untuk dia apa, lalu mau tidak mau dia harus masuk jurusan itu. Namun kompensasinya biaya kuliah semua dibebaskan negara. Untuk opsi satu, jika lulus dia harus 'bertarung' di pasar kerja untuk mendapat lowongan. Opsi dua, jika lulus negara akan langsung memberikan pekerjaan. Sebagai contoh, jika kita memilih opsi dua, si siswa ingin sekolah kedokteran. Tapi negara menentukan dia harus belajar antropologi.
Dia harus terima, kalo mau sekolah gratis. Demikan juga jika dia ingin sekolah ekonomi, tapi malah disuruh sekolah sastra Inggris, dia juga harus mau terima. Segera setelah tour guide kami menjelaskan hal ini, seorang guru besar di bidang linguistik nyletuk....'nah mestinya carrer path diatur gitu...daripada semua orang jadi insinyur'. Teman saya yang insinyur langsung diam seribu bahasa. Di Indonesia tahu sendiri kan pendidikan kita seperti apa? Asal ada duit, semua bisa diatur.
Bagaimanapun....Sosialisme memang terbukti lebih manusiawi daripada kapitalisme...bandingkan saja China dan Indonesia. China berhasil membantu 400 juta rakyatnya lepas dari belitan kemiskinan, semua itu hanya perlu waktu kurang dari 30 tahun. Kita???Sudah berapa tahun merdeka, tapi yang miskin tetap saja banyak. Belum lagi berbagai konflik SARA, de el el. Bandingkan dengan China, disana relatif damai (walau konflik tetap ada, tapi mengelolanya mereka relatif elegan).
Para pakar ekonomi itu silahkan saja menuduh sosialisme itu tidak efisien, tapi mereka tidak pernah terlalu menyadari bahwa perkembangan ekonomi China yang sangat pesat itu bersandar dari sosialisme (Sosialisme lho...bukan komunisme..Sepengetahuan saya komunisme di sana hanya menjadi ritual belaka, soalnya aparat PKC sendiri sudah meninggalkan marxisme ortodoxnya Mao Tse Tung). Rekayasa Sosial Deng Xiaoping memang luar biasa, bagaimana dia mengharmonisasikan sistim politik komunis dengan sistim ekonomi kapitalisme, itu yang sukar dibayangkan juga oleh pakar ekonomi kita. Pakar ekonomi dan teknik kita sudah dicuci otak dengan neo-liberalismenya Amerika...itu yang repot. Itulah budaya timur....bagaimana mengharmonisasikan dua hal yang bertentangan....
Mudah2an nanti gajinya Merry seperti gajinya Larry King atau Oprah Winfrey ya?? Saya doain....
Dia harus terima, kalo mau sekolah gratis. Demikan juga jika dia ingin sekolah ekonomi, tapi malah disuruh sekolah sastra Inggris, dia juga harus mau terima. Segera setelah tour guide kami menjelaskan hal ini, seorang guru besar di bidang linguistik nyletuk....'nah mestinya carrer path diatur gitu...daripada semua orang jadi insinyur'. Teman saya yang insinyur langsung diam seribu bahasa. Di Indonesia tahu sendiri kan pendidikan kita seperti apa? Asal ada duit, semua bisa diatur.
Bagaimanapun....Sosialisme memang terbukti lebih manusiawi daripada kapitalisme...bandingkan saja China dan Indonesia. China berhasil membantu 400 juta rakyatnya lepas dari belitan kemiskinan, semua itu hanya perlu waktu kurang dari 30 tahun. Kita???Sudah berapa tahun merdeka, tapi yang miskin tetap saja banyak. Belum lagi berbagai konflik SARA, de el el. Bandingkan dengan China, disana relatif damai (walau konflik tetap ada, tapi mengelolanya mereka relatif elegan).
Para pakar ekonomi itu silahkan saja menuduh sosialisme itu tidak efisien, tapi mereka tidak pernah terlalu menyadari bahwa perkembangan ekonomi China yang sangat pesat itu bersandar dari sosialisme (Sosialisme lho...bukan komunisme..Sepengetahuan saya komunisme di sana hanya menjadi ritual belaka, soalnya aparat PKC sendiri sudah meninggalkan marxisme ortodoxnya Mao Tse Tung). Rekayasa Sosial Deng Xiaoping memang luar biasa, bagaimana dia mengharmonisasikan sistim politik komunis dengan sistim ekonomi kapitalisme, itu yang sukar dibayangkan juga oleh pakar ekonomi kita. Pakar ekonomi dan teknik kita sudah dicuci otak dengan neo-liberalismenya Amerika...itu yang repot. Itulah budaya timur....bagaimana mengharmonisasikan dua hal yang bertentangan....
Mudah2an nanti gajinya Merry seperti gajinya Larry King atau Oprah Winfrey ya?? Saya doain....
Kemanusiaan dan Kedokteran 2
Bisakah dikatakan bahwa kemungkinan salah 1 faktor problem di Indonesia
adalah: technopreuner kita berlatar belakang ekonomi,bisnis,dan teknik
semata?Bidang2 itu melulu yg jadi fokus.Sementara sosial dan life
sciences dianggap cuma pelengkap.Jadi ada ketimpangan,dimana kebanyakan org
fokus pd target:ingin cepat sukses & kaya tanpa memikirkan apakah
prosesnya sehat bagi mental & jasmani.Akibatnya ya penyakit sosial yg kita
hadapi saat ini.Ironisnya,penderita terbanyaknya adalah rakyat kecil yg
jadi korban ketimpangan tadi. Wah sy kok sok pinter ya?Tapi itu hasil
pengamatan sehari2 juga lho.Pnyakit sosial ini melahirkan
kriminalitas,konflik SARA,dekadensi moral,dst.Itu kan yg kita hadapi sehari2?Tapi
kalangan elit berkutat dgn tender,proyek,lobi2 politik tak habis2 tanpa
pernah berpikir bagaimana penyakit sosial rakyatnya diobati.Rumahnya mau
direnovasi dulu sebelum ditempati.Gaji saya sbg jurnalis kecil,sy
banyak andalkan side job nulis & ngelola website
orang. Netsains?Masih proyek idealis..hehe
Kemanusiaan dan Kedokteran
Bisnis, tender, dan proyek itu menyenangkan lho kalo mau jujur Namun...apakah itu bermanfaat untuk orang banyak, itu pertanyaan yang harus dijawab juga. Bila itu cuma proyek mercu suar yang menguntungkan segelintir elite, tapi publik dilupakan, menurut saya itu proyek 'sampah'. Namun jika proyek itu bermanfaat untuk orang banyak, dari segala lapisan, that's ok. Itu sebabnya kami langsung terjun mengaplikasikan sains dasar kepada bidang kedokteran, dengan harapan semoga penelitian kami bisa bermanfaat bagi orang banyak. But it's long way to go...Untuk menuju paten, apalagi produksi masih sangat jauh...Bila sudah diproduksipun, bagaimana kita optimasi supaya harganya terjangkau, sehingga kalangan ekonomi sulit bisa membelinya.
Mungkin bukan perasaan Merry saja, itu juga perasaan saya. Kebanyakan pakar yang ahli dalam bidang hitung-menghitung akan terjerembab kepada utilitarianisme, that is, mengkalkulasikan hubungan personal berdasarkan kalkulus untung rugi. Simpelnya sikap 'kalo saya baik sama dia, untungnya buat saya apa?'. Dimata mereka, manusia itu tidak lebih dari sekedar variabel, angka, dan simbol statistik belaka. Berbeda dengan kami. Penelitian kami banyak bersentuhan dengan aspek etika kemanusiaan. Mengambil sampel dari pasien saja harus ada ethical clearance nya, dengan memberikan prior informed consent. Bila tidak melakukan ini, kami (baik peneliti dan dokternya) akan masuk 'hotel prodeo' tercinta di Cipinang.. Inilah etika kedokteran yang dulu diformulasikan oleh Hipokrates. Pada artikel 'bioterorisme' yang lagi saya susun, nanti akan membahas pelanggaran sangat serius terhadap etika kedokteran, yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Science Park nanti rencananya akan dibangun di Depok. Disitu akan menjadi inkubator riset dalam berbagai bidang ilmu. Untuk lengkapnya bisa dilihat di http://www.ui.edu/indonesia/menu_statis.php?id=f3&hal=f_science
Ok deh...Pokoknya selamat menikmati rumah baru...semoga seneng di sana. Sampe kirim CV segala, mungkin saja karena mereka melihat keterlibatan nama besar dalam netsains ini, seperti Pak Koes dan Kang Onno. Setelah melihat dua nama itu, otomatis mereka yang ngirim CV akan 'tergetar' (termasuk saya..he..he...he). Namun bisa juga karena artikel-artikel yang dimuat di netsains memang berkualitas. Saya lihat tanggapannya sendiri di 'add comments' selalu hangat.
Mungkin bukan perasaan Merry saja, itu juga perasaan saya. Kebanyakan pakar yang ahli dalam bidang hitung-menghitung akan terjerembab kepada utilitarianisme, that is, mengkalkulasikan hubungan personal berdasarkan kalkulus untung rugi. Simpelnya sikap 'kalo saya baik sama dia, untungnya buat saya apa?'. Dimata mereka, manusia itu tidak lebih dari sekedar variabel, angka, dan simbol statistik belaka. Berbeda dengan kami. Penelitian kami banyak bersentuhan dengan aspek etika kemanusiaan. Mengambil sampel dari pasien saja harus ada ethical clearance nya, dengan memberikan prior informed consent. Bila tidak melakukan ini, kami (baik peneliti dan dokternya) akan masuk 'hotel prodeo' tercinta di Cipinang.. Inilah etika kedokteran yang dulu diformulasikan oleh Hipokrates. Pada artikel 'bioterorisme' yang lagi saya susun, nanti akan membahas pelanggaran sangat serius terhadap etika kedokteran, yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Science Park nanti rencananya akan dibangun di Depok. Disitu akan menjadi inkubator riset dalam berbagai bidang ilmu. Untuk lengkapnya bisa dilihat di http://www.ui.edu/indonesia/menu_statis.php?id=f3&hal=f_science
Ok deh...Pokoknya selamat menikmati rumah baru...semoga seneng di sana. Sampe kirim CV segala, mungkin saja karena mereka melihat keterlibatan nama besar dalam netsains ini, seperti Pak Koes dan Kang Onno. Setelah melihat dua nama itu, otomatis mereka yang ngirim CV akan 'tergetar' (termasuk saya..he..he...he). Namun bisa juga karena artikel-artikel yang dimuat di netsains memang berkualitas. Saya lihat tanggapannya sendiri di 'add comments' selalu hangat.
Dokter Lagi, Dokter Lagi 3
Hmm dokter. Dulu zaman SMP saya sempat bercita-cita jadi dokter karena suka sama pelajaran biologi. Buku catatan biologi saya paling rapi. Bagian menggambar anatomi manusia, selalu diwarnai, pakai stabilo, crayon dsb. Bahkan lebih bagus dari buku gurunya...Hihihi. Saya juga hobi ngapalin nama-nama latin. Sayang, begitu tahu bahwa di penjurusan biologi SMA akan banyak sekali pelajaran matematika....saya langsung mundurrrrr! Sssttt saya ini paling phobia sama matematika. Lihat angka-angka saja sudah stres duluan.
Antropologi? Pas kuliah saya senang sekali sama mata kuliah sosiologi. Jadi ingin belajar antropologi. Hobinya ngumpulin artikel budaya daerah dan koleksi foto-foto Asmat dan Dayak. Tapi diledekin teman2 katanya nanti kerjanya jadi penjaga musem. Padahal kan saya pengen seperti Margareth Mead.
Ya sudah, cari yang sesuai panggilan alam saja, jadi jurnalis. Profesi yang netral, bisa mendalami apa saja. Saya rasa jadi jurnalis itu sebuah sekolah kehidupan juga. Buktinya sampai sekarang saya belajar terus. Ibaratnya ini baru jenjang S2 lah. Nanti kalau sudah jadi jurnalis top dan menghasilkan banyak buku hebat, baru jenjang S3. Hihihi
Kalau kamu sejak kecil sudah bercita-cita jadi peneliti ya?
Tapi manusia yang paling bahagia di dunia ini memang manusia yang bekerja sesuai bidangnya ya. Banyak orang yang bekerja dengan terpaksa tidak sesuai dengan bidangnya. So...bersyukurlah selalu dengan keadaan kita sekarang.
Antropologi? Pas kuliah saya senang sekali sama mata kuliah sosiologi. Jadi ingin belajar antropologi. Hobinya ngumpulin artikel budaya daerah dan koleksi foto-foto Asmat dan Dayak. Tapi diledekin teman2 katanya nanti kerjanya jadi penjaga musem. Padahal kan saya pengen seperti Margareth Mead.
Ya sudah, cari yang sesuai panggilan alam saja, jadi jurnalis. Profesi yang netral, bisa mendalami apa saja. Saya rasa jadi jurnalis itu sebuah sekolah kehidupan juga. Buktinya sampai sekarang saya belajar terus. Ibaratnya ini baru jenjang S2 lah. Nanti kalau sudah jadi jurnalis top dan menghasilkan banyak buku hebat, baru jenjang S3. Hihihi
Kalau kamu sejak kecil sudah bercita-cita jadi peneliti ya?
Tapi manusia yang paling bahagia di dunia ini memang manusia yang bekerja sesuai bidangnya ya. Banyak orang yang bekerja dengan terpaksa tidak sesuai dengan bidangnya. So...bersyukurlah selalu dengan keadaan kita sekarang.
Dokter Lagi, Dokter Lagi 2
Membicarakan profesi kedokteran memang selalu menarik ya? Saya pernah baca bukunya Nawal, mengenai seorang imam agama yang korup. Bagus, karena dia berusaha mengangkat kajian gender. Tapi saya ada buku yang juga menarik mengenai kedokteran, yaitu 'becoming a doctor' karya Melvin Konner M.D. Mister Konner ini adalah pakar antropologi kesehatan. Dia sudah menjadi profesor dalam bidang itu, dan penelitiannya sudah banyak. Dia mempelajari pengobatan alternatif yang banyak terdapat di berbagai suku-suku terasing.
Namun, akhirnya dia mencapai suatu titik, bahwa melakukan perbandingan dengan pengobatan modern itu perlu. Akhirnya dia melakukan suatu hal yang radikal, yaitu belajar ilmu kedokteran. Buku 'becoming..' tersebut berisi pengalaman dia selama sekolah di fakultas kedokteran. Mulai dari pengalaman magangnya, interaksi dia dengan praktisi kesehatan, sampai curi-curi waktu supaya bisa ikut seminar mengenai antropologi (bolos dari RS).
Menarik melihat fakta, bahwa seorang guru besar antropologi masih mau sekolah lagi dari nol. Dokter biasa, mana mau belajar antropologi, misalnya?
Kalo berminat, saya resensi juga bukunya Mister Konner, tapi jadi utang banyak tulisan ya?? Tukang kredit nih gua....
Ya...saya tertarik untuk datang ke launching buku Merry, mudah-mudahan saja pas jadwal saya lagi kosong undangannya. Tapi santai aja lah
Namun, akhirnya dia mencapai suatu titik, bahwa melakukan perbandingan dengan pengobatan modern itu perlu. Akhirnya dia melakukan suatu hal yang radikal, yaitu belajar ilmu kedokteran. Buku 'becoming..' tersebut berisi pengalaman dia selama sekolah di fakultas kedokteran. Mulai dari pengalaman magangnya, interaksi dia dengan praktisi kesehatan, sampai curi-curi waktu supaya bisa ikut seminar mengenai antropologi (bolos dari RS).
Menarik melihat fakta, bahwa seorang guru besar antropologi masih mau sekolah lagi dari nol. Dokter biasa, mana mau belajar antropologi, misalnya?
Kalo berminat, saya resensi juga bukunya Mister Konner, tapi jadi utang banyak tulisan ya?? Tukang kredit nih gua....
Ya...saya tertarik untuk datang ke launching buku Merry, mudah-mudahan saja pas jadwal saya lagi kosong undangannya. Tapi santai aja lah
Dokter Lagi, Dokter Lagi
Arli,
Kembali ke soal dokter, kebetulan semalam habis beres2 rak buku dan menemukan buku Nawal El Saadawi, My Travels Around The World.
Nawal kan dokter. Tapi ia hanya sebentar berpraktek sebagai dokter. Dalam buku itu ia paparkan bahwa ia keberatan jika profesi dokter dalam menolong sesama manusia itu harus dibayar mahal. Maka ia tidak membuka praktek. Ia lebih suka menjadi sukarelawan PBB atau LSM asing untuk menyalurkan ilmunya membantu sesama. Pokoknya ia tidak mau jika pasiennya harus membayar, maka ia lebih suka ikut program sejenis itu agar PBB lah yang membayar untuknya, bukan si pasien.
Nawal sendiri akhirnya lebih banyak menulis dan sukses sebagai penulis yang topiknya seputar gender. Dia salah satu penulis idola saya lho..
Andai semua dokter seperti Nawal, wah dunia akan berbeda ya.
Nanti pasti akan saya resensi buku itu di Netsains! Hehehe...
Kembali ke soal dokter, kebetulan semalam habis beres2 rak buku dan menemukan buku Nawal El Saadawi, My Travels Around The World.
Nawal kan dokter. Tapi ia hanya sebentar berpraktek sebagai dokter. Dalam buku itu ia paparkan bahwa ia keberatan jika profesi dokter dalam menolong sesama manusia itu harus dibayar mahal. Maka ia tidak membuka praktek. Ia lebih suka menjadi sukarelawan PBB atau LSM asing untuk menyalurkan ilmunya membantu sesama. Pokoknya ia tidak mau jika pasiennya harus membayar, maka ia lebih suka ikut program sejenis itu agar PBB lah yang membayar untuknya, bukan si pasien.
Nawal sendiri akhirnya lebih banyak menulis dan sukses sebagai penulis yang topiknya seputar gender. Dia salah satu penulis idola saya lho..
Andai semua dokter seperti Nawal, wah dunia akan berbeda ya.
Nanti pasti akan saya resensi buku itu di Netsains! Hehehe...
Budaya Timur 4
Kalo soal joke-joke beginian, Gus Dur itu yang paling jago Simak saja di http://www.gusdur.net/indonesia/index.php?option=com_content&task=blogcategory&id=77&Itemid=64
Humor-humor model demikian sudah menjadi klasik di pesantren.
Mengenai masalah 'pribumi' dan 'pendatang', itu kan lebih kental nuansa politisnya. Menurut ilmu biologi evolusi, pada dasarnya nenek moyang manusia (homo sapiens), berasal dari Afrika. Jadi kita semua adalah orang afrika (homo africanus) Secara biologi, perbedaan antara pribumi dan pendatang adalah tidak relevan.
Saya sebenarnya sangat berharap supaya ilmu sosial lebih bersuara dalam bidang ini. Namun, publik seperti tidak berpihak ke kita. Publik kita lebih tertarik dengan ceramah-ceramah motivasi dan self help, yang sebenarnya hanya bisa menyelesaikan masalah secara jangka pendek. Untuk yang lebih jangka panjang, diperlukan suatu renungan filosofis yang mendalam dan mendasar, untuk mencari akar permasalahan. Waduh juga...jadi ingin menulis artikel lebih banyak di Netsains. Saya lihat Merry udah nulis lebih dari 50 artikel. Saya tercambuk untuk menulis sebanyak itu juga nih...
Humor-humor model demikian sudah menjadi klasik di pesantren.
Mengenai masalah 'pribumi' dan 'pendatang', itu kan lebih kental nuansa politisnya. Menurut ilmu biologi evolusi, pada dasarnya nenek moyang manusia (homo sapiens), berasal dari Afrika. Jadi kita semua adalah orang afrika (homo africanus) Secara biologi, perbedaan antara pribumi dan pendatang adalah tidak relevan.
Saya sebenarnya sangat berharap supaya ilmu sosial lebih bersuara dalam bidang ini. Namun, publik seperti tidak berpihak ke kita. Publik kita lebih tertarik dengan ceramah-ceramah motivasi dan self help, yang sebenarnya hanya bisa menyelesaikan masalah secara jangka pendek. Untuk yang lebih jangka panjang, diperlukan suatu renungan filosofis yang mendalam dan mendasar, untuk mencari akar permasalahan. Waduh juga...jadi ingin menulis artikel lebih banyak di Netsains. Saya lihat Merry udah nulis lebih dari 50 artikel. Saya tercambuk untuk menulis sebanyak itu juga nih...
Budaya Timur 3
Kalau dipikir, ironis juga ya. Agama yang selayaknya bisa menjadi landasan perdamaian justru memicu banyak bentrok di berbagai belahan dunia.
Lantas, apa lagi yang bisa menjadi dasar perdamaian dunia?
Bagaimana jika sains dan teknologi?
Bukan satu dua kali kerjasama di bidang sains melibatkan banyak negara dan etnis serta agama dan ideologi politik. Penghargaan Nobel kerap diraih oleh satu tim ilmuwan yang berasal dari bangsa berbeda. Perbedaan ras, agama, bangsa, ideologi politik seolah terlupakan ketika beberapa manusia berkumpul untuk membahas sains dan teknologi. Seni dan budaya tentu saja tercakup di dalamnya.
Dari pengalaman saya bergaul dengan orang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas, mereka sudah pada taraf dimana tak lagi mempersoalkan SARA dalam pergaulan. Bahkan di kantor saya Sinar Harapan dimana pemeluk Islam dan Kristen cukup seimbang, kerap terlontar humor-humor berbau SARA namun selalu memancing gelak tawa.
Misalnya saja gerombolan jurnalis Kristen sedang ingin makan siang di restoran Chinese Food, yang Islam melede : "Wah, pada mau makan babi ya!" dan hanya disambut gelak tawa.
Kemarin saja baru kejadian. Ada undangan Halal Bilhalal bersama Menkes. Teman yang non muslim gantian meledek, "Ogah ah, gue maunya haram binharam. Abis kata Rhoma Irama yang haram itu lebih enak."
Atau di beberapa kesempatan teman-teman jurnalis dari media lain kerap juga melontarkan humor-humor SARA dan tak sedikitpun memicu rasa tersinggung.
Ini juga berlaku di banyak komunitas dimana pola pikir mereka sudah tidka mempersoalkan perbedaan SARA lagi.
Sayangnya komunitas sejenis itu belum banyak di Indonesia atau belahan dunia lain. Yang mendominasi justru komunitas yang mudah diprovokator, mudah tersinggung, hanya oleh sedikit saja perbedaan. Apakah itu karena tingkat pendidikan dan wawasan yang rendah? Atau behaviuor sangat berperan di sini? Ataukah moral dan etika?
Saya sempet berpikir, sudah saatnya para pakar antropologi dan sosial ikut mengkaji masalah betapa mudahnya masyarakat kita diadu domba oleh isu SARA. Perlu dicari jalan keluar agar kondisi itu tidak terus terjadi. Bahkan ilmuwan dari cabang lain juga bisa, misalnya antropobiologi. Publikasi studi mengenai asal usul manusia Indonesia barangkali mampu menjadi dasar kesepahaman bahwa orang Indonesia itu pada dasarnya semuanya pendatang. Dari kesamaan itu semoga bisa memancing rasa persamaan latar belakang yang menjadi dasar terbentuknya suatu negara.
Waduh, pagi-pagi sudah orasi...Hehehe.
Lantas, apa lagi yang bisa menjadi dasar perdamaian dunia?
Bagaimana jika sains dan teknologi?
Bukan satu dua kali kerjasama di bidang sains melibatkan banyak negara dan etnis serta agama dan ideologi politik. Penghargaan Nobel kerap diraih oleh satu tim ilmuwan yang berasal dari bangsa berbeda. Perbedaan ras, agama, bangsa, ideologi politik seolah terlupakan ketika beberapa manusia berkumpul untuk membahas sains dan teknologi. Seni dan budaya tentu saja tercakup di dalamnya.
Dari pengalaman saya bergaul dengan orang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas, mereka sudah pada taraf dimana tak lagi mempersoalkan SARA dalam pergaulan. Bahkan di kantor saya Sinar Harapan dimana pemeluk Islam dan Kristen cukup seimbang, kerap terlontar humor-humor berbau SARA namun selalu memancing gelak tawa.
Misalnya saja gerombolan jurnalis Kristen sedang ingin makan siang di restoran Chinese Food, yang Islam melede : "Wah, pada mau makan babi ya!" dan hanya disambut gelak tawa.
Kemarin saja baru kejadian. Ada undangan Halal Bilhalal bersama Menkes. Teman yang non muslim gantian meledek, "Ogah ah, gue maunya haram binharam. Abis kata Rhoma Irama yang haram itu lebih enak."
Atau di beberapa kesempatan teman-teman jurnalis dari media lain kerap juga melontarkan humor-humor SARA dan tak sedikitpun memicu rasa tersinggung.
Ini juga berlaku di banyak komunitas dimana pola pikir mereka sudah tidka mempersoalkan perbedaan SARA lagi.
Sayangnya komunitas sejenis itu belum banyak di Indonesia atau belahan dunia lain. Yang mendominasi justru komunitas yang mudah diprovokator, mudah tersinggung, hanya oleh sedikit saja perbedaan. Apakah itu karena tingkat pendidikan dan wawasan yang rendah? Atau behaviuor sangat berperan di sini? Ataukah moral dan etika?
Saya sempet berpikir, sudah saatnya para pakar antropologi dan sosial ikut mengkaji masalah betapa mudahnya masyarakat kita diadu domba oleh isu SARA. Perlu dicari jalan keluar agar kondisi itu tidak terus terjadi. Bahkan ilmuwan dari cabang lain juga bisa, misalnya antropobiologi. Publikasi studi mengenai asal usul manusia Indonesia barangkali mampu menjadi dasar kesepahaman bahwa orang Indonesia itu pada dasarnya semuanya pendatang. Dari kesamaan itu semoga bisa memancing rasa persamaan latar belakang yang menjadi dasar terbentuknya suatu negara.
Waduh, pagi-pagi sudah orasi...Hehehe.
Budaya Timur 2
Sayang sekali kali ini dugaan kita meleset. Kurang tepat bahwa agama timur tidak pernah bentrok. Sudah diketahui kan, bahwa Buddhisme berasal dari India? Pesan Budhisme yang paling revolusioner adalah penghapusan kasta. Akibatnya.....fatal. Kritik Buddha terhadap kasta Hindu telah mengganggu privelese kaum brahmana dan ksatria. Budhisme telah melangkah lebih jauh, dengan menolak membahas fenomena keTuhanan.
Oleh pihak Hindu, ini diartikan sebagai penolakan terhadap Trimurti mereka. Selama ratusan tahun Budhisme dan Hinduisme berperang di India. Pemenangnya adalah Hinduisme. India pernah diperintah oleh dinasti Budhist, kalau tidak salah dinasti Murya, sekitar 300 SM. Salah satu rajanya adalah raja Asoka. Awalnya Asoka ini doyan berperang...setelah menjadi Budhist, dia malah menjadi pasifist. Asoka yang paling berperan untuk membawa Budhisme menjadi agama dunia, sama seperti peran Paulus pada Kristen.
Namun, walaupun Hinduisme menang di India, secara global mereka 'kalah'. Hinduisme hanya menjadi fenomena khas India (Bali perkecualian), Sementara Budhisme menjadi agama dunia. Karena Bhiksu Bodhidarma dari India, dia bermigrasi ke China. Di China itulah Bodhidharma mendirikan Kuil Shaolin yang sangat terkenal itu.
Di China, Budhisme berakulturasi dengan nilai2 lokal, yang dikenal dengan Zen. Filosofi Zen inilah yang juga dibawa ke Korea dan Jepang, dan akhirnya ke seluruh asia tenggara. Kerajaan Sriwijaya dan Wangsa Syailendra kan Budhist? Perkembangan selanjutnya, karena Budhisme sudah sangat lemah di India, ya otomatis tidak pernah bentrok lagi dengan yang Hindu. Sekarang malah Hindu bentrok sama Islam.
Soe Hok Gie...ya itu sudah jadi makanan wajib lah! Namun saya juga sudah baca 'the book of five ring' Mushashi. Isinya pada permukaan adalah teknik berperang, namun disitu dijabarkan mengenai nilai-nilai Bushido, yang dipegang teguh bangsa Jepang, seperti kejujuran, keberanian, ketegasan, namun tetap penuh perhitungan dan ketenangan. Tentu mesti kita ingat, walaupun sudah menjadi mayoritas Islam, Indonesia sangat kuat dipengaruhi oleh Hinduisme dan Budhisme, paling tidak secara falsafah. Tradisi tahlilan, dipercaya sudah ada sejak jaman Hindu. Pesantren di Jawa, semuanya dibangun dan dikembangkan berdasarkan perguruan Mandala Hindu. Dan tentu saja Ramayana dan Mahabarata, yang semua berasal dari jaman Hindu juga. Pengaruh Budhisme malah ke arah lain.
Konsep kebatinan Kejawen sangat kuat dipengaruhi Budhisme, karena konsep keTuhanan di kejawen tidak terlalu jelas. Hanya di Indonesia, kita bisa menemukan orang yang bernama Yudhistira, Arjuna, dan Bima yang muslim. Di India, pemilik nama-nama ini pasti orang Hindu. Orang Islam di sana umumnya menggunakan nama arab. Ya..ini 'muslim with hindu nama'. Semua ini manifestasi dari sinkretisme, sama halnya dengan yang terjadi di Jepang. Di serat Gatoloco dan serat Centini, pengaruh Hindu-Budha terasa sangat kuat.
Apabila Gatoloco kita baca secara tidak kritis, maka kita akan terkejut, karena berisi konten yang kental pornografi. Padahal sesungguhnya Gatoloco sedang dalam proses pencarian jati diri, untuk menjadi orang yang tercerahkan. Pornografi di Gatoloco hanyalah simbol belaka, untuk menggambarkan pencarian jati diri nya sendiri.
Oleh pihak Hindu, ini diartikan sebagai penolakan terhadap Trimurti mereka. Selama ratusan tahun Budhisme dan Hinduisme berperang di India. Pemenangnya adalah Hinduisme. India pernah diperintah oleh dinasti Budhist, kalau tidak salah dinasti Murya, sekitar 300 SM. Salah satu rajanya adalah raja Asoka. Awalnya Asoka ini doyan berperang...setelah menjadi Budhist, dia malah menjadi pasifist. Asoka yang paling berperan untuk membawa Budhisme menjadi agama dunia, sama seperti peran Paulus pada Kristen.
Namun, walaupun Hinduisme menang di India, secara global mereka 'kalah'. Hinduisme hanya menjadi fenomena khas India (Bali perkecualian), Sementara Budhisme menjadi agama dunia. Karena Bhiksu Bodhidarma dari India, dia bermigrasi ke China. Di China itulah Bodhidharma mendirikan Kuil Shaolin yang sangat terkenal itu.
Di China, Budhisme berakulturasi dengan nilai2 lokal, yang dikenal dengan Zen. Filosofi Zen inilah yang juga dibawa ke Korea dan Jepang, dan akhirnya ke seluruh asia tenggara. Kerajaan Sriwijaya dan Wangsa Syailendra kan Budhist? Perkembangan selanjutnya, karena Budhisme sudah sangat lemah di India, ya otomatis tidak pernah bentrok lagi dengan yang Hindu. Sekarang malah Hindu bentrok sama Islam.
Soe Hok Gie...ya itu sudah jadi makanan wajib lah! Namun saya juga sudah baca 'the book of five ring' Mushashi. Isinya pada permukaan adalah teknik berperang, namun disitu dijabarkan mengenai nilai-nilai Bushido, yang dipegang teguh bangsa Jepang, seperti kejujuran, keberanian, ketegasan, namun tetap penuh perhitungan dan ketenangan. Tentu mesti kita ingat, walaupun sudah menjadi mayoritas Islam, Indonesia sangat kuat dipengaruhi oleh Hinduisme dan Budhisme, paling tidak secara falsafah. Tradisi tahlilan, dipercaya sudah ada sejak jaman Hindu. Pesantren di Jawa, semuanya dibangun dan dikembangkan berdasarkan perguruan Mandala Hindu. Dan tentu saja Ramayana dan Mahabarata, yang semua berasal dari jaman Hindu juga. Pengaruh Budhisme malah ke arah lain.
Konsep kebatinan Kejawen sangat kuat dipengaruhi Budhisme, karena konsep keTuhanan di kejawen tidak terlalu jelas. Hanya di Indonesia, kita bisa menemukan orang yang bernama Yudhistira, Arjuna, dan Bima yang muslim. Di India, pemilik nama-nama ini pasti orang Hindu. Orang Islam di sana umumnya menggunakan nama arab. Ya..ini 'muslim with hindu nama'. Semua ini manifestasi dari sinkretisme, sama halnya dengan yang terjadi di Jepang. Di serat Gatoloco dan serat Centini, pengaruh Hindu-Budha terasa sangat kuat.
Apabila Gatoloco kita baca secara tidak kritis, maka kita akan terkejut, karena berisi konten yang kental pornografi. Padahal sesungguhnya Gatoloco sedang dalam proses pencarian jati diri, untuk menjadi orang yang tercerahkan. Pornografi di Gatoloco hanyalah simbol belaka, untuk menggambarkan pencarian jati diri nya sendiri.
Budaya Timur
Arli,
barusan saya baca review-nya. Trims atas kritik membangunnya.
Bicara soal budaya timur, belakangan saya juga tertarik membaca novel karya penulis Asia. Mungkin karena dihadiahi ultah oleh teman buku Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Membaca novel ini mengingatkan saya pada Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie (Sudah bacakah? Anak UI wajib lho baca ini..hehe).
Entah apa yang membuat kedua buku itu memiliki nuansa sama. Akhirnya saya dapatkan bahwa tokoh "aku" dalam Norwegian Wood dan Hok Gie sama-sama pemeluk agama Budaha. Hok Gie memang secara KTP adalah Katolik, tapi seperti kebanyakan WNI keturunan China lain, keluarganya masih mempertahankan tradisi Buddha. Tokoh "aku" karya Murakami memiliki dasar tindakan dan pemikiran yang sama dengan Hok Gie: berbuat baik, berpikiran baik, tanpa mengacu pada suatu dogma. Hok Gie dengan berani mempertanyakan apakah gereja itu sungguh lembaga yang baik atau hanya bisnis berkedok agama.
Akibat hadiah buku karya penulis Asia dari teman itu, saya tertarik untuk membaca buku penulis Asia lain: Jhumpa Lahiri. Lalu mencoba membaca Imperial Woman-nya Pearl S Buck demi memngetahui kenapa penulis barat itu sering sekali menulis novel dengan seting Asia, khususnya China.
Sejak itu saya jadi suka sama buku-buku bersetting Asia. Padahal dulu saya ngga suka, fanatik buku penulis barat atau kalau Indonesia ya sekaliber Pramoedya Ananta Toer.
Mungkin memang saatnya ya we are back to our root. Mungkin dari situ bisa mulai tergali rahasia yang membuat China, Jepang dan India berada di depan negara Asia lain. Hmm..kabarnya Korea juga mulai menyusul. Kembali ke soal agama Samawi dan non Samawi itu menarik juga ya..Sudah ada belum ya kajian tentang kenapa negara non Samawi jarang terlibat bentrok fisik? Mengapa agama itu juga tidak terlalu dipolitisir seperti agama Samawi? Apakah karena agama Samawi lahir di Timur Tengah yang sarat konflik bisnis/ekonomi (sumber minyak)? Really interesting topic!
barusan saya baca review-nya. Trims atas kritik membangunnya.
Bicara soal budaya timur, belakangan saya juga tertarik membaca novel karya penulis Asia. Mungkin karena dihadiahi ultah oleh teman buku Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Membaca novel ini mengingatkan saya pada Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie (Sudah bacakah? Anak UI wajib lho baca ini..hehe).
Entah apa yang membuat kedua buku itu memiliki nuansa sama. Akhirnya saya dapatkan bahwa tokoh "aku" dalam Norwegian Wood dan Hok Gie sama-sama pemeluk agama Budaha. Hok Gie memang secara KTP adalah Katolik, tapi seperti kebanyakan WNI keturunan China lain, keluarganya masih mempertahankan tradisi Buddha. Tokoh "aku" karya Murakami memiliki dasar tindakan dan pemikiran yang sama dengan Hok Gie: berbuat baik, berpikiran baik, tanpa mengacu pada suatu dogma. Hok Gie dengan berani mempertanyakan apakah gereja itu sungguh lembaga yang baik atau hanya bisnis berkedok agama.
Akibat hadiah buku karya penulis Asia dari teman itu, saya tertarik untuk membaca buku penulis Asia lain: Jhumpa Lahiri. Lalu mencoba membaca Imperial Woman-nya Pearl S Buck demi memngetahui kenapa penulis barat itu sering sekali menulis novel dengan seting Asia, khususnya China.
Sejak itu saya jadi suka sama buku-buku bersetting Asia. Padahal dulu saya ngga suka, fanatik buku penulis barat atau kalau Indonesia ya sekaliber Pramoedya Ananta Toer.
Mungkin memang saatnya ya we are back to our root. Mungkin dari situ bisa mulai tergali rahasia yang membuat China, Jepang dan India berada di depan negara Asia lain. Hmm..kabarnya Korea juga mulai menyusul. Kembali ke soal agama Samawi dan non Samawi itu menarik juga ya..Sudah ada belum ya kajian tentang kenapa negara non Samawi jarang terlibat bentrok fisik? Mengapa agama itu juga tidak terlalu dipolitisir seperti agama Samawi? Apakah karena agama Samawi lahir di Timur Tengah yang sarat konflik bisnis/ekonomi (sumber minyak)? Really interesting topic!
Nihilisme @ Nature 3
Arli, bisakah dikatakan bahwa agama kepercayaan Timur seperti
Buddha,Hindu atau Shinto itu nyaris bebas dari politisir & ditunggangi
kepentingan bisnis? Saya ngga pernah dengar pemeluk Buddha bentrok fisik dengan
Hindu, dsb. Beda dengan agama Samawi (Kristen,Islam,Yahudi) yg sering
terlibat bentrok fisik. Apakah itu yg membuat China,Jepang & India bisa
lebih independen dalam hal politik & ekonomi daripada negara penganut
Samawi? Wah menarik ya..
Thanks reviewnya..belum dibuka sebab pakai hp. Nanti sy download di PC.
Nihilisme & Nature 2
Hey...Hey..Hey....Merry
Lebih tepatnya yang paling menginspirasi saya dalam puisi itu adalah Siddharta Gauthama (Buddha). Saya mengenal Nietzche itu baru belakangan. Terakhir-terakhir ini saya lagi 'terintoxikasi' dengan filsafat timur, yang berakar di China, India dan sekitarnya. Ada fenomena unik di Jepang. Disana, setiap orang yang baru lahir akan didaftarkan namanya ke kuil Shinto terdekat. Namun sewaktu menikah dia akan mendapatkan sakramen di Gereja. Sewaktu meninggal, dia akan dikremasi secara Buddhist. Satu lagi, berdasarkan survai, 7 dari 10 orang Jepang mengaku tidak punya agama. Namun kalau mereka ujian atau menghadapi masalah, pasti mendatangi kuil Shito untuk konsultasi dengan pendetanya. Tradisi timur memang tidak memerlukan pengakuan dalam bentuk dogma atau kredo, seperti agama-agama semit (Yahudi, Kristen, dan Islam).
Yang paling penting menurut mereka adalah berpikir dengan benar, merasa dengan benar, dan bertindak dengan benar. Kalau diurut-urut, apakah tradisi timur ada hubungannya dengan kemajuan ekonomi politik India, China, Jepang, dan Korea Selatan? Mungkin saja, tapi korelasinya bagaimana kurang jelas.
Saya kirim juga nih review buku kamu. Saya tunggu pemuatan artikel2 yang saya kirim. Semoga mencerahkan.
Yang paling penting menurut mereka adalah berpikir dengan benar, merasa dengan benar, dan bertindak dengan benar. Kalau diurut-urut, apakah tradisi timur ada hubungannya dengan kemajuan ekonomi politik India, China, Jepang, dan Korea Selatan? Mungkin saja, tapi korelasinya bagaimana kurang jelas.
Nihilisme & Nature 1
Hey Hey Arli..
Baru baca puisi kamu di FS, Nothingnes and Simplicity. Tau ngga sih, dulu aku sempat jadi penganut nihilisme. Mungkin akibat terpengaruh baca Franz Kafka sama Nietzsche waktu kuliah. Tapi sepertinya sudah mencapai antiklimaks dan sekarang sudah pada taraf tidak ingin mengikuti suatu aliran pun. Lebih membiarkan hidup mengalir seperti air. Mempercayakan semuanya pada Master of Universe, Si Pencipta Jagat Raya.
Ini aliran apa ya namanya? Aliran sungai? Hehehe..Jadi ingat ajaran The Secret atau Law of Attarction yang sedang heboh itu. pada dasarnya kan itu ajaran lama juga, hanya penulisnya pintar me-reminder orang agar selalu ingat berbuat hal baik. Dan akhirnya mereka menyerahkan semuanya pada setiap individu dan hukum alam.
Dulu, di awal jadi jurnalis IT, waktu mewawancara Kang Onno selalu gemes. Onno itu sering sekali bilang, "Serahkan saja pada yang Di Atas," itu jika ditanya soal cybercrime. Tapi kini setelah sekian lama tahu sepak terjangnya, memang paling indah adalah melakukan hal-hal baik sesuai keinginan kita, lantas menyerahkannya pada yang Di Atas. Itu berlaku untuk semua bidang pastinya.
Lantas bagaimana jika dikaitkan dengan Albert Camus? Sepertinya ada masa ketika seseorang ingin mengubah banyak hal secara drastis dengan cara memberontak. Ketika usaha pemberontakan frontal itu tidak berhasil seperti yang diharapkan, maka spirit pemberontakan itu sedikit redup. Bukan berarti mati. Dan akhirnya "pemberontakan" itu dijalankan secara lebih elegan.
Itulah yang dilakukan Onno sekarang ini. Ia tetap seorang Onno bersahaja, ngomong ceplas ceplos, namun tidak sekontroversi dulu lagi. Ia melakukan pemberontakan secara elegan. Saya pikir faktor usia mempengaruhi pola ini.
Saya belum setua Onno memang. Namun setidaknya sudah mulai memasuki tahap dimana pemberrontakan itu tidak dilakukan secara frontal.
Dan akhirnya saya setuju sama kalimat terakhir puisi itu: "Nature will take care of all our hustle. Harmony with the nature is the essence of all."
Baru baca puisi kamu di FS, Nothingnes and Simplicity. Tau ngga sih, dulu aku sempat jadi penganut nihilisme. Mungkin akibat terpengaruh baca Franz Kafka sama Nietzsche waktu kuliah. Tapi sepertinya sudah mencapai antiklimaks dan sekarang sudah pada taraf tidak ingin mengikuti suatu aliran pun. Lebih membiarkan hidup mengalir seperti air. Mempercayakan semuanya pada Master of Universe, Si Pencipta Jagat Raya.
Ini aliran apa ya namanya? Aliran sungai? Hehehe..Jadi ingat ajaran The Secret atau Law of Attarction yang sedang heboh itu. pada dasarnya kan itu ajaran lama juga, hanya penulisnya pintar me-reminder orang agar selalu ingat berbuat hal baik. Dan akhirnya mereka menyerahkan semuanya pada setiap individu dan hukum alam.
Dulu, di awal jadi jurnalis IT, waktu mewawancara Kang Onno selalu gemes. Onno itu sering sekali bilang, "Serahkan saja pada yang Di Atas," itu jika ditanya soal cybercrime. Tapi kini setelah sekian lama tahu sepak terjangnya, memang paling indah adalah melakukan hal-hal baik sesuai keinginan kita, lantas menyerahkannya pada yang Di Atas. Itu berlaku untuk semua bidang pastinya.
Lantas bagaimana jika dikaitkan dengan Albert Camus? Sepertinya ada masa ketika seseorang ingin mengubah banyak hal secara drastis dengan cara memberontak. Ketika usaha pemberontakan frontal itu tidak berhasil seperti yang diharapkan, maka spirit pemberontakan itu sedikit redup. Bukan berarti mati. Dan akhirnya "pemberontakan" itu dijalankan secara lebih elegan.
Itulah yang dilakukan Onno sekarang ini. Ia tetap seorang Onno bersahaja, ngomong ceplas ceplos, namun tidak sekontroversi dulu lagi. Ia melakukan pemberontakan secara elegan. Saya pikir faktor usia mempengaruhi pola ini.
Saya belum setua Onno memang. Namun setidaknya sudah mulai memasuki tahap dimana pemberrontakan itu tidak dilakukan secara frontal.
Dan akhirnya saya setuju sama kalimat terakhir puisi itu: "Nature will take care of all our hustle. Harmony with the nature is the essence of all."
Sertifikasi 7
Betul sekali, Arli. Maka itu saya bilang bahwaa saya pesimis dgn dialog
nasional itu. Tapi saya hanya sekadar membantu saja. Semoga someday
ada manfatnya.
Sepertinya LSM2 & akademisi yg ada ttg isu lingkungan dan ekonomi
sebagai penggagas acara itu www.samdhana.org,Greenpeace,dsb sudah bingung
mau ambil tindakan bagaimana lagi. Aksi demo atau tulisan di media tak
pernah menjadi solusi. Jadi dibuatlah dialog tersebut.
Arli,saya tadi lihat di FS kamu review buku saya? Trims berat ya..hanya
saya ngga bisa baca semuanya sebaba sy ngga log in FS. Sy kehilangan
id log in FS sejak setahunan lalu..kalau bisa saya minta dikirim dong
reviewnya..agar bisa tahu kekurangan buku itu.
Trims berat ya sudah mau baca buku itu..hehe. Semoga berguna.
Sertifikasi 6
Maaf saja Merry, tapi kalo dialog nasional itu melibatkan wakil dari IMF, WTO, dan World Bank, akhirnya laporan dialog itu hanya akan mengisi lemari arsip mereka yang sudah berdebu Antek-antek mereka ada dimana-mana, mulai dari parlemen, industri, perguruan tinggi, LSM, de el el. Kita harus lebih progresif lagi. Saya terkesan dengan Morales, presiden Bolivia, yang berani memaksa pemodal asing untuk menegosiasikan komposisi kepemilikan perusahaan migas mereka di sana. Rekomposisi itu untuk kepentingan rakyat Bolivia sendiri.
Demikian dengan Hugo Chavez, yang sukses dengan proyek 'land reform'nya. Tentu juga dengan Mahmud Ahmadinejad, yang berpendapat, bahwa 'mengembangkan nuklir untuk tujuan damai adalah hak segala bangsa'. Ini perlu kemauan politik dari pimpinan nasional kita. Melihat pimpinan negara kita seperti ini, yang disetir oleh WTO dkk, ya repotlah kalo kita berharap banyak. Tapi mudah-mudahan white paper kamu menginspirasikan generasi-generasi penerus, yang nanti akan memimpin bangsa ini di masa depan
Demikian dengan Hugo Chavez, yang sukses dengan proyek 'land reform'nya. Tentu juga dengan Mahmud Ahmadinejad, yang berpendapat, bahwa 'mengembangkan nuklir untuk tujuan damai adalah hak segala bangsa'. Ini perlu kemauan politik dari pimpinan nasional kita. Melihat pimpinan negara kita seperti ini, yang disetir oleh WTO dkk, ya repotlah kalo kita berharap banyak. Tapi mudah-mudahan white paper kamu menginspirasikan generasi-generasi penerus, yang nanti akan memimpin bangsa ini di masa depan
Sertifikasi 5
Arli, kebetulan saya sedang membantu teman nulis white paper untuk
dialog nasional ttg hutan Indonesia. Dari studi2 yg ada, semua masyarakat
Indonesia & negara berkembang lain yg hidup di dekat hutan punya
kesamaan : MISKIN. Padahal mereka hidup dekat hutan yg notabene adalah sumber
kekayaan alam. Ironisnya,mereka justru tak punya akses ke hutan,justru
sumberdaya hutan diklaim sbg milik negara & dikeruk oleh industri luar
maupun dlm negeri. Warga setempat dilarang mengakses sebab hutan ybs
ditetapkan sbg hutan lindung,taman nasional dsb. Dialog nasionalnya akan
diadakan November di DPR,melibatkan semua stakeholder. Saya pribadi
pesimis. Tapi dalam white paper itu juga kami singgung soal globalisasi yg
hanya menguntungkan negara maju & menyingkirkan rakyat lokal.
Globalisasi hanya menumbuhkan hutang2 baru yg bikin kita makin tak punya posisi
tawar.
Saya salut sama Sultan Hamengkabuwono yg antipoligami walau beliau
punya hak & kesempatan ke arah itu. Salut juga buat semua orang yg
antipoligami,termasuk kamu.
Sertifikasi 4
Merry, berbicara sedikit soal ekonomi. Semua itu terjadi karena ekonom kita sudah dicuci otak dengan ideologi neo liberalisme. Bila ada ekonom kita yang mengambil garis sosialis saja dikit, dia akan terlempar keluar sistim, dan paling hanya bisa jadi pengamat atau kritikus belaka. Ini terjadi di negara kita. Neo liberalisme mensyaratkan, agar kita mentaati mekanisme pasar secara penuh, dan intervensi pemerintah diminimalkan, bahkan dinihilkan. Lembaga keuangan dunia seperti WTO, World Bank, dan IMF mensyaratkan client mereka menggunakan pendekatan demikian. Akibatnya bisa dilihat. Sektor riil kita hancur lebur, sementara sektor finansial kuat. Ini seperti berjalan dengan satu kaki .
Sektor finansial pun lebih banyak tergantung dengan modal asing. Selalu atas nama 'perdagangan bebas' dan 'globalisasi', negara2 client tiga institusi keuangan tersebut dipaksa untuk menjual BUMN nya ke luar negeri. Semua atas nama 'perdagangan bebas'. Sesungguhnya, semua ini kebohongan belaka. Di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang, konsep neo liberalisme tidak pernah digunakan.
Mereka justru mengambil pendekatan ekonomi sosial demokrat. Ketiga negara tersebut memiliki industri manufaktur yang independen, pertanian yang kuat, dan finansial yang kuat dengan modal sendiri. Pemerintah mereka sangat memproteksi industri mereka, sementara kita dipaksa untuk meninggalkan proteksi, semua atas nama 'efisiensi'. Sekarang para negara donatur IMF, World Bank, dan WTO menerapkan ekonomi sosdem untuk diri mereka sendiri, kenapa kita harus menerapkan ekonomi neo liberal? Ini karena negara-negara maju tidak ingin memiliki pesaing yang berarti di perdagangan bebas ini. Mereka sudah sangat terkejut melihat perkembangan ekonomi China dan India yang sangat pesat, yang menjadi kompetitor mereka. Mereka tidak akan rela melihat Indonesia bisa semaju China dan India. Konyolnya mayoritas ekonom kita tidak melihat hal ini.
Soal poligami...Ok...Ok...Wanita hanya bisa mencintai satu laki, namun sebenarnya demikian juga sebaliknya. Kondisi sosial budaya yang berbasis patriaki yang memaksa laki-laki mencintai lebih dari satu perempuan. Lebih tepat yang harus dilawan adalah patriaki. Bila poligami dihapuskan, tapi budaya patriaki masih ada, maka superioritas pria atas wanita akan terus terjadi dalam bentuk lain. Bila patriaki dihapuskan, maka poligami otomatis akan terhapuskan juga, seperti yang terjadi di Tunisia.
Sektor finansial pun lebih banyak tergantung dengan modal asing. Selalu atas nama 'perdagangan bebas' dan 'globalisasi', negara2 client tiga institusi keuangan tersebut dipaksa untuk menjual BUMN nya ke luar negeri. Semua atas nama 'perdagangan bebas'. Sesungguhnya, semua ini kebohongan belaka. Di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang, konsep neo liberalisme tidak pernah digunakan.
Mereka justru mengambil pendekatan ekonomi sosial demokrat. Ketiga negara tersebut memiliki industri manufaktur yang independen, pertanian yang kuat, dan finansial yang kuat dengan modal sendiri. Pemerintah mereka sangat memproteksi industri mereka, sementara kita dipaksa untuk meninggalkan proteksi, semua atas nama 'efisiensi'. Sekarang para negara donatur IMF, World Bank, dan WTO menerapkan ekonomi sosdem untuk diri mereka sendiri, kenapa kita harus menerapkan ekonomi neo liberal? Ini karena negara-negara maju tidak ingin memiliki pesaing yang berarti di perdagangan bebas ini. Mereka sudah sangat terkejut melihat perkembangan ekonomi China dan India yang sangat pesat, yang menjadi kompetitor mereka. Mereka tidak akan rela melihat Indonesia bisa semaju China dan India. Konyolnya mayoritas ekonom kita tidak melihat hal ini.
Soal poligami...Ok...Ok...Wanita hanya bisa mencintai satu laki, namun sebenarnya demikian juga sebaliknya. Kondisi sosial budaya yang berbasis patriaki yang memaksa laki-laki mencintai lebih dari satu perempuan. Lebih tepat yang harus dilawan adalah patriaki. Bila poligami dihapuskan, tapi budaya patriaki masih ada, maka superioritas pria atas wanita akan terus terjadi dalam bentuk lain. Bila patriaki dihapuskan, maka poligami otomatis akan terhapuskan juga, seperti yang terjadi di Tunisia.
Sertifikasi 3
Merry, saya punya pengalaman menarik sewaktu studi banding ke China dulu. Di sana, pengobatan alternatif memiliki pengakuan formal yang sederajat dengan pengobatan modern. Bahkan mereka memiliki sekolah, institut, dan rumah sakit untuk pengobatan alternatif, yang semua sah menurut undang-undang. Menurut ketentuan di sana, setiap turis asing yang berkunjung ke China wajib untuk mengunjungi institut pengobatan alternatif. Bila tidak, maka izin tour guidenya dicabut Berbeda dengan di Indonesia, di sini keaneka ragaman budaya pengobatan kita digilas atas nama 'kedokteran modern'. Mestinya orang-orang IDI itu dikirim ke China dan belajar tentang pengobatan di sana
Tentu, sudah pasti saya mulai belajar masak sekarang....Itu pasti.
Soal behavior....Indonesia memang paling top munafiknya Mengklaim bangsa paling religius, tapi KKNnya juga paling top. Itu sebabnya saya tidak pernah bisa mengerti khotbah kebanyakan pemuka agama di TV Agamawan yang saya percaya jujur boleh dibilang hanya bisa dihitung dengan jari, terlepas agama mereka apa. Saya pikir masalah behavior ini justru kuncinya. Namun behavior yang ideal hanya bisa dicapai, jika generasi muda memiliki teladan. Jaman angkatan '45 dulu, generasi muda memiliki teladan Soekarno-Hatta dkk. Tokoh yang menjadi teladan itu sekarang yang kita langka
Kalo anti poligami...berarti harus anti poliandri juga donk Praktek poligami di Indonesia, kita jujur saja, hanya umum pada yang muslim. Namun jangan dipukul rata bahwa Islam itu pro poligami. Di Tunisia, mereka memiliki Undang-Undang anti poligami. Jadi siapapun yang berpoligami di Tunisia, 'hotel prodeo' hadiahnya. Sebagai negara Francophone, Tunisia menerapkan liberalisme Perancis dalam penyusunan perundangan tersebut. Saya sendiri berpendapat bahwa monogami adalah bentuk perkawinan yang ideal. Poligami dan poliandri, menurut hemat saya, hanya dipraktekkan pada masyarakat yang masih sederhana bentuk kehidupannya, misalnya pada masyarakat arab badui. Baru baca di koran (lupa koran apa), seorang Syeikh Arab badui membanggakan dirinya bahwa dia memiliki sekian puluh istri dan sekian ratus anak. Menurut saya, itu sama sekali bukan kebanggaan. Karena sibuk berpoligami itu, rasanya salah satu faktor bisa menjelaskan kenapa Negara2 arab selalu kalah perang dengan Israel . Orang Yahudi sekarang ini kan cenderung bermonogami. Tapi, walaupun Yahudi itu monogami, memiliki banyak anak sangat dianjurkan sih. Ini saya juga tidak setuju. Dunia akan penuh sesak kalau begitu caranya Lagi, menurut pendapat saya juga, bentuk perkawinan yang ideal menurut suatu masyarakat, akan sangat bergantung dengan kompleksitas budaya yang mereka miliki. Masyarakat urban dimana kita hidup sekarang, bentuk monogami merupakan yang paling ideal. Namun di pedesaan pun, poligami tidak akan menjadi pilihan praktis juga, karena hanya akan menambah beban ekonomi saja. Itulah yang tidak pernah dipikir oleh si Syeikh Arab itu. Dia sibuk menafkahi keluarganya yang besar bin gemuk, sementara Israel yang bermonogami memiliki uang lebih, yang dapat dimanfaatkan untuk membangun industri militer mereka. Saya mendukung penuh jika UU anti poligami (dan anti poliandri juga tentunya) diberlakukan di negara ini. Ini akan menjamin keadilan pada relasi gender
Tentu, sudah pasti saya mulai belajar masak sekarang....Itu pasti.
Soal behavior....Indonesia memang paling top munafiknya Mengklaim bangsa paling religius, tapi KKNnya juga paling top. Itu sebabnya saya tidak pernah bisa mengerti khotbah kebanyakan pemuka agama di TV Agamawan yang saya percaya jujur boleh dibilang hanya bisa dihitung dengan jari, terlepas agama mereka apa. Saya pikir masalah behavior ini justru kuncinya. Namun behavior yang ideal hanya bisa dicapai, jika generasi muda memiliki teladan. Jaman angkatan '45 dulu, generasi muda memiliki teladan Soekarno-Hatta dkk. Tokoh yang menjadi teladan itu sekarang yang kita langka
Kalo anti poligami...berarti harus anti poliandri juga donk Praktek poligami di Indonesia, kita jujur saja, hanya umum pada yang muslim. Namun jangan dipukul rata bahwa Islam itu pro poligami. Di Tunisia, mereka memiliki Undang-Undang anti poligami. Jadi siapapun yang berpoligami di Tunisia, 'hotel prodeo' hadiahnya. Sebagai negara Francophone, Tunisia menerapkan liberalisme Perancis dalam penyusunan perundangan tersebut. Saya sendiri berpendapat bahwa monogami adalah bentuk perkawinan yang ideal. Poligami dan poliandri, menurut hemat saya, hanya dipraktekkan pada masyarakat yang masih sederhana bentuk kehidupannya, misalnya pada masyarakat arab badui. Baru baca di koran (lupa koran apa), seorang Syeikh Arab badui membanggakan dirinya bahwa dia memiliki sekian puluh istri dan sekian ratus anak. Menurut saya, itu sama sekali bukan kebanggaan. Karena sibuk berpoligami itu, rasanya salah satu faktor bisa menjelaskan kenapa Negara2 arab selalu kalah perang dengan Israel . Orang Yahudi sekarang ini kan cenderung bermonogami. Tapi, walaupun Yahudi itu monogami, memiliki banyak anak sangat dianjurkan sih. Ini saya juga tidak setuju. Dunia akan penuh sesak kalau begitu caranya Lagi, menurut pendapat saya juga, bentuk perkawinan yang ideal menurut suatu masyarakat, akan sangat bergantung dengan kompleksitas budaya yang mereka miliki. Masyarakat urban dimana kita hidup sekarang, bentuk monogami merupakan yang paling ideal. Namun di pedesaan pun, poligami tidak akan menjadi pilihan praktis juga, karena hanya akan menambah beban ekonomi saja. Itulah yang tidak pernah dipikir oleh si Syeikh Arab itu. Dia sibuk menafkahi keluarganya yang besar bin gemuk, sementara Israel yang bermonogami memiliki uang lebih, yang dapat dimanfaatkan untuk membangun industri militer mereka. Saya mendukung penuh jika UU anti poligami (dan anti poliandri juga tentunya) diberlakukan di negara ini. Ini akan menjamin keadilan pada relasi gender
Langganan:
Postingan (Atom)