Jumat, 18 Januari 2008

Mengakses Tuhan Tanpa Server Agama

Kami masih tak habis pikir kenapa perbedaan agama selalu jadi ujung tombak beragam persoalan yang ada di muka bumi. Sejak awal kami sudah cukup berbusa-busa membahas agama ini. Pada dasarnya Tuhan itu bisa diakses oleh siapa saja tanpa harus melalui agama sebagai servernya. Bahkan konflik agama yang banyak terjadi di muka bumi itu kami yakini sebagai ulah manusia pribadi, tanpa campur tangan Tuhan.

Sampai kemarin sore pun kami masih sepemikiran bahwa bisa jadi Muhammad, Yesus dan Buddha jika masih hidup akan marah sebab ajaran mereka sudah diplesetkan sedemikian rupa oleh umatnya yang tidak bertanggungjawab.

"Jika Amerika itu benar penganut Kristen, lantas kenapa mereka jadi negara yang gap sosialnya begitu tinggi? Jika Indonesia benar penganut Islam, mengapa negara kita seperti ini?"

Bicara soal agama di banyak telinga awam selalu memancing perdebatan yang dilandasi fanatisme, sensitifitas luar biasa, yang bukan tak mungkin memicu konflik panjang tiada akhir. Bisa saling menebas pedang dan menghalalkan pembunuhan satu sama lain.

Kami sendiri adalah pasangan yang berbeda agama. Di negara seperti Indonesia, dimana pernikahan berebeda agama tidak dilegalkan, lumayan menghadirkan tanda tanya juga.
Seorang sahabat menasihati ada bagusnya jangan menikah mengikuti satu prosedur agama secara terpaksa di satu pihak. Jangan munafik, berpura-pura mengamini satu seremonial agama yang bukan agama kita padahal dalam hati kita tidak mengakuinya. Sebuah advis berharga.

Agama itu sesungguhnya masalah pribadi, sangat pribadi. Kenapa negara selama ini pusing mengatur bahwa seseorang harus beragama dan mencantumkannya di KTP? Agar jika meninggal jelas akan dikuburkan dengan seremonial apa? Lantas apakah arwah manusia akan pusing jika salah seremonial? Arwahnya akan penasaran dan kesasar ke alam lain jika didoakan dengan doa agama yang berbeda dengan yang dianutnya?

Hmm sehebat itukah manusia sampai doa yang diucapkannya bisa menentukan perjalanan roh manusia lain?
Kalau sudah urusan kematian, maka itu Tuhan punya kuasa. Itu jika Anda percaya Tuhan ada. Jika Anda berkeras bahwa matinya manusia harus didoakan dengan doa agama tertentu, Anda justru tidak percaya Tuhan bukan? Anda lebih percaya bada kekuatan doa Anda daripada kekuasaan Tuhan???

Duh, Anda lupa ya kalau manusia itu hanya onggokan daging busuk jika arwahnya sudah terlepas dari badan.

7 komentar:

Moses Kurniawan mengatakan...

semuanya kembali ke diri masing2 deh mba...hehheheheh...saya juga dah pusing bahas ribut2 agama di bumi ..hihihi

Anonim mengatakan...

Mba mer.. aku suka sekali tulisannya.. aku sebenarnya berharap lebih banyak orang yang bisa membaca dan memahaminya. Cuma memang aga ngeri kalo di publikasikan, bisa2 mba kena damprat manusia-manusia munafik yang 'ngaku beragama'

Good luck my sist..

syanwar mengatakan...

prat! =) sudah dipublikasikan ya? hehehe....

Agama itu adalah rambu-rambu penunjuk arah menuju kebenaran sejadi, sang Cinta yang Maha Mencintai. Jika kamu berpegang erat pada rambu, maka kapan kamu akan sampai pada tujuan? =)

Budi Rahardjo mengatakan...

Mungkin karena berdasarkan kepada pengalaman (wah merasa tua nih, he he he) saya melihat bahwa agama memang masih memegang peranan. Saya sudah melihat dengan kepala sendiri bagaimana keluarga seorang kawan saya ambruk gara-gara perbedaan agama (dan memang beda kultur juga sih, antara indonesia dan barat).

Pada awalnya masalah agama ini dianggap enteng. ternyata ketika lagi cekcok, ini dianggap sebagai pembenaran. Bubar jalan. Yang kasihan adalah anak-anaknya.

Arli dan Merry, mohon kalian sering bicara dari hati ke hati untuk urusan ini. Gak pengen liat kalian bubar jalan. Ini memang bukan bahan diskusi satu hari. Mungkin tahunan. Sabarlah. Tapi jangan menghindar dari topik ini ya.

Best regards (and hope) to both of you ...

Anonim mengatakan...

Tapi satu step sudah terlewati kan Mbak Mer:). Go ahead!!!

Anonim mengatakan...

Di negara yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan seperti Indonesia, pasangan kekasih, ada yang mengangan-angankan, kalau sudah berkeluarga nanti, buka puasa yang dibangunkan istri, kemudian salat jamaah bersama dll. Kalau yang Kristiani, ke gereja bersama, bermalam Natal dan Paskah bersama, mengantar anak sekolah minggu bersama. Kalau memang tidak punya impian seperti itu, ya tak apa-apa Mer. Kadang tarik menarik itu tiba-tiba saja muncul.

Arli mengatakan...

Sekedar sharing pengalaman pribadi saja nih. Kedua orang tua saya berbeda agama, hanya saja sampai sekarang mereka masih kompak. Mereka memiliki pendekatan yang sangat rasional dengan agama, sehingga hal seperti itu tidak pernah dipermasalahkan. Mungkin karena dari standar orang puritan, mereka berdua memang tidak taat dalam menjalankan agamanya..i.e. jarang ke Gereja atau ke masjid. Alhasil memang mereka berdua itu memang sudah dari 'sono'nya kritis dengan bentuk formal agama. Jadilah sewaktu ketemu..klop deh..he..he..he. Itu akhirnya tergantung kedewasaan masing-masing individu, ada pasangan yang agamanya sama atau beda, alhasil cerai juga. Tidak bisa jadi pegangan. Faktor utamanya memang kedewasaan dari individu itu sendiri. Sewaktu saya memutuskan mengikuti agama ibu saya, bapak mempersilahkan dengan 'legowo'. Tokh walaupun saya muslim, SMP dan SMA saya dari sekolah Katholik, sehingga sudah sangat sering berinteraksi dengan orang2 yang berbeda agama. Saya yakin sekali, tidak ada yang aneh atau ganjil dengan orang yang berbeda agama dengan saya. Lagipula, di era global ini, berinteraksi dengan orang yang berbeda agama atau suku dengan kita sama sekali tidak bisa terhindarkan. Dari sejak SMA, saya memang mempelajari semua agama. Quran, Bibel, Bhagavad Gita, Avesta, semuanya saya pelajari. Saya mengikuti jejak Isaac Newton, yang diam-diam mempelajari perbandingan agama. Saya sudah 'kenyang' berdiskusi dengan ulama, pastur, pedanda, dll. Seandainya hal ini dihadapi dengan 'kepala dingin' dan rasional, semuanya akan lancar-lancar saja. Contoh klasik..walaupun sebagian orang mungkin bosan..ya mantan presiden kita Gus Dur. Dia tidak canggung bergaul dengan Simon Peres atau Ehud Barak. Bahkan di zaman dia, diam-diam hubungan dengan Israel ingin dinormalisasi. Yang penting kepala harus tetap dingin....That's all folks...hi...hi...hi..:-)