Jumat, 15 Februari 2008

Serendipity of Arli and Me

Saat kupu-kupu mendatangi bunga
Apakah bunga itu dipilih
Berdasarkan takdir
Atau kebetulan saja
Atau karena bunga itu memenuhi semua impiannya

Adakah yang menggerakkan sayap si kupu-kupu untuk memilih si bunga
Atau hanya serba kebetulan saja?

Valentine bukan hari istimewa bagi kami, sebab setiap hari adalah hari kasih sayang. Apalagi kemarin kami sama-sama sibuk.Tapi ada kejadian unik bertepatan dengan Valentine kemarin.
Saya ada janji dengan seorang teman lelaki di daerah Sarinah, Thamrin. Awalnya ingin di Cafe Cartel saja, sebab itu sudah lewat jam lunch, jadi sebaiknya ngopi saja. Ternyata mendadak saya kangen dengan batagor di Bakso Karapitan. Jadi janjiannya dipindah ke situ.

Sekitar satu jam lebih kami membahas soal proyek buku, bahu saya ditepuk orang dari belakang. Saat menoleh, saya luar biasa kaget sebab Arli duduk tepat di belakang saya. Ia bersama teman-temannya ternyata juga terkejut bersua saya secara tak disengaja.
Jika kejadiannya di Depok, tempat kami biasa hang out, rasanya tidak akan aneh. Sebab memang itu letak kampus Arli dan rumahku. Tapi kami bertemu di Jakarta, padahal sama-sama tidak janjian atau cerita akan ke lokasi itu.

"Jodoh..namanya jodoh," ujar temanku.

Aku hanya tertawa dan membatin semoga dia benar.

Ternyata sebenarnya Arli dan teman-temannya juga tidak berencana makan di situ. Awalnya mereka mau ke Marinara, tapi teman-teman Arli tidak setuju. Akhirnya mereka memutuskan ke Bakso Karapitan. Dan...hoopla! Di situlah kami bertemu.

Dan di hari Valentine itu kami dipertemukan secara tidak sengaja.

Hmmm..serendipity lain adalah...
Huruf depan nama Ayah Arli adalah A, ibunya M. Ayah saya juga A, ibu saya juga M. Adik-adik Arli huruf depan namanya M, adik saya A. Dan nama Arli jelas A, nama saya jelas sudah M.

Saya dan adiknya Arli sama-sama jurnalis. Arli dan adik saya sama-sama dosen. Dan kami sama-sama berasal dari orang tua yang berbeda agama.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Mer, aku dan dince juga banyak tuh dalam hal kejadian 'serendipity' :) mostly itu dalam percakapan sehari-hari sering salah satu mendahului mengucapkan kalimat yang sedang akan diucapkan, udah di bibir atau masih dalam perjalanan di otak. Lucu. Jadi sering tabrakan ngucapin barengan hahaha

Mungkin memang serendipity itu gejala udah jodoh. Dan Tuhan emang tidak pernah bilang kalau jodoh itu harus satu agama. Itu kan egosentrisme manusia yang merasa benar aja tanpa memikirkan bahwa Tuhan itu maha segala-galanya dan mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi di dalam hati ummatNya. Tetapi Mer, kalau bisa satu keyakinan tentu saja lebih baik.

Aku setuju nasihat yang mengatakan kalo pernikahan itu terutama tergantung pada : komitmen, komitmen dan komitmen. Baru setelah itu komunikasi, pengertian dan termasuk pengorbanan (tentu saja). Lha, cinta ditarok di mana? Kalau menurut aku sih tidak perlu ada cinta. Karena kalau memang butuh, cinta bisa dibikin kapan saja kita mau. Karena cinta juga bisa padam kapan saja. So, tentu saja cinta bukan segalanya. Cukup komitmen saja.

Arli mengatakan...

Saya heran dengan anda, mengapa harus berkata 'kalau bisa satu keyakinan tentu saja lebih baik'?. Ini dunia global bung, ada berbagai ras, bangsa, dan agama bercampur baur dalam satu 'global village'. Tidak ada korelasi sama sekali antara pernikahan satu agama dengan kelanggengan perkawinan itu sendiri. Kasus perceraian yang menimpa pasangan yang berbeda agama, juga bisa menimpa pasangan yang satu agama. Jadi mengambil trendnya memang sangat sukar. Saya ini seorang sekularis sejati, dan bagi saya, agama tak lebih dari ekspresi budaya kreasi manusia. Dan itu berlaku pada semua agama, tanpa kecuali. Jika itu hanya 'man made', so why we should take it as everything? George Bush menganggap intervensi Amerik di Irak dan Afganistan adalah kehendak Tuhan, Osama bin Laden menganggap bahwa Zionis dan Salibis pantas untuk dihancurkan. Cukup sudah fanatisme seperti ini! Saya sudah sangat muak mendengar orang kesana kemari membantai sesamanya atas nama Tuhan. Semua itu orang munafik! Saya lebih menghargai orang yang tidak beragama, tapi ia mencintai sesamanya daripada orang-orang munafik seperti itu.
Lalu apakah harus diartikan bahwa komitmen itu berarti harus satu agama? Jika demikian, kita mundur kebelakang. Jika demikian, sama saja kita seperti Bush dan bin Laden yang religio fasis, alias mengangganggap agamanya sendiri yang paling benar. Menganggap agamanya sendiri paling benar sudah langkah awal menuju kekerasan paling kejam yang sudah sering terjadi dalam sejarah manusia. Eropa sudah kenyang 'dicecoki' oleh perang agama sepanjang sejarahnya, oleh sebab itu mereka mengambil jalan sekularisme. Baca saja sejarah hitam perang 30 tahun di Jerman antara Katholik dan protestan. Baca juga mengenai pembantaian kaum protestan/Hougenots di Perancis. Kasus paling terkenal, ya perang salib. Beda misalnya dengan Amrik, yang belum mengalami perang agama, jadi eforia agama mereka masih tinggi. Eforia yang sama juga terjadi di Indonesia. Padahal, berkaca dengan eropa, eforia tersebut akan menghasilkan kehancuran dan kebinasaan. Tidak dapat disangkal, konflik di Yugoslavia dulu sangat kental nuansa agamanya, dengan digabung sentimen etnis. Seharusnya semua orang beragama berkaca, apakah dengan beragama otomatis konflik di dunia ini akan selesai? Ternyata yang terjadi sebaliknya, justru agama menjadi justifikasi untuk menindas sesamanya. Bagi saya, agama tidak ada hubungannya dengan komitmen apapun. Itu adalah urusan pribadi kita dengan Tuhan (kalau anda percaya dengan Tuhan). Ini bukan urusan vertikal, namun murni horizontal. Jika agama kita masukkan dalam komitmen, itu hanya mengulang kebencian dan fanatisme yang pernah menghancurkan eropa ratusan tahun yang lalu. Hal yang sama juga sedang membakar timur tengah, dan entah merambat kemana lagi. Jika agama disamakan dengan komitmen, itu sama saja memberikan bahan bakar kepada kebencian paling ganas yang pernah dikenal oleh manusia.
Jika suatu hubungan hanya dibangun atas dasar komitmen an sich, itu tidak ada bedanya dengan aliansi politik. Semua aliansi politik pasti dibangun atas komitmen yang kuat, namun jika salah satu pihak melakukan pembatalan sepihak, sudah pasti terjadi pertumpahan darah alias perang. Pernikahan itu bukan aliansi politik. Jika kita menganggap pernikahan adalah demikian, berarti sama saja dengan raja-raja feodal jaman dahulu yang menjodohkan anaknya dengan anak raja lain, semua demi kepentingan politik dia. Toh dalam sejarah, sering itu tidak ada pengaruhnya. Jika harus perang, ya perang, tanpa peduli dengan pernikahan antar putra dan putri mahkota tsb. Suatu komitmen tetap harus dilandaskan cinta. Jika tidak, tunggu saja tanggal meledaknya....
Jadi gicu bung pataka. Tx atas postingnya ya?....:-)

M Fahmi Aulia mengatakan...

hahaha...yg lagi mabok kepayang ;-)

Arli mengatakan...

Hic!...Hic!...More Martini please...with ice...Hic! Thanx bro'1