Kalau dipikir, ironis juga ya. Agama yang selayaknya bisa menjadi landasan perdamaian justru memicu banyak bentrok di berbagai belahan dunia.
Lantas, apa lagi yang bisa menjadi dasar perdamaian dunia?
Bagaimana jika sains dan teknologi?
Bukan satu dua kali kerjasama di bidang sains melibatkan banyak negara dan etnis serta agama dan ideologi politik. Penghargaan Nobel kerap diraih oleh satu tim ilmuwan yang berasal dari bangsa berbeda. Perbedaan ras, agama, bangsa, ideologi politik seolah terlupakan ketika beberapa manusia berkumpul untuk membahas sains dan teknologi. Seni dan budaya tentu saja tercakup di dalamnya.
Dari pengalaman saya bergaul dengan orang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas, mereka sudah pada taraf dimana tak lagi mempersoalkan SARA dalam pergaulan. Bahkan di kantor saya Sinar Harapan dimana pemeluk Islam dan Kristen cukup seimbang, kerap terlontar humor-humor berbau SARA namun selalu memancing gelak tawa.
Misalnya saja gerombolan jurnalis Kristen sedang ingin makan siang di restoran Chinese Food, yang Islam melede : "Wah, pada mau makan babi ya!" dan hanya disambut gelak tawa.
Kemarin saja baru kejadian. Ada undangan Halal Bilhalal bersama Menkes. Teman yang non muslim gantian meledek, "Ogah ah, gue maunya haram binharam. Abis kata Rhoma Irama yang haram itu lebih enak."
Atau di beberapa kesempatan teman-teman jurnalis dari media lain kerap juga melontarkan humor-humor SARA dan tak sedikitpun memicu rasa tersinggung.
Ini juga berlaku di banyak komunitas dimana pola pikir mereka sudah tidka mempersoalkan perbedaan SARA lagi.
Sayangnya komunitas sejenis itu belum banyak di Indonesia atau belahan dunia lain. Yang mendominasi justru komunitas yang mudah diprovokator, mudah tersinggung, hanya oleh sedikit saja perbedaan. Apakah itu karena tingkat pendidikan dan wawasan yang rendah? Atau behaviuor sangat berperan di sini? Ataukah moral dan etika?
Saya sempet berpikir, sudah saatnya para pakar antropologi dan sosial ikut mengkaji masalah betapa mudahnya masyarakat kita diadu domba oleh isu SARA. Perlu dicari jalan keluar agar kondisi itu tidak terus terjadi. Bahkan ilmuwan dari cabang lain juga bisa, misalnya antropobiologi. Publikasi studi mengenai asal usul manusia Indonesia barangkali mampu menjadi dasar kesepahaman bahwa orang Indonesia itu pada dasarnya semuanya pendatang. Dari kesamaan itu semoga bisa memancing rasa persamaan latar belakang yang menjadi dasar terbentuknya suatu negara.
Waduh, pagi-pagi sudah orasi...Hehehe.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar