Senin, 19 November 2007

Tentang Tulisan dan Blog 3

Merry yang baik

Saya minta tulisan saya mengenai hal Eijkman menjadi 'off the record'. Saya pikir wajar kalau Eijkman merasa superior, karena yang menjalankan lembaga itu adalah...dokter. Kok jadi menyalahkan dokter? Sebetulnya tidak ada yang salah dengan profesi kedokteran. Namun setiap orang yang pernah berurusan dengan dokter akan mengerti betapa susahnya berkomunikasi dengan mereka. Saya termasuk beruntung, karena selama saya bekerja sama dengan mereka, relatif tidak ada masalah yang berarti. Hubungan saya dengan para dokter relatif sangat baik. Tapi, teman saya ada yang sial. Dia dosen sebuah PTS. Ia ngambil S3 di biomedik FK-UI, di DO karena alasan sederhana....dia bukan seorang dokter. Di sana, hanya dokter yang bisa berprestasi baik. Non dokter silahkan gigit jari. Teman saya itu orang biologi, dan setiap kali bertemu dengan saya, selalu saja komplain mengenai " kezaliman para dokter". Komplainnya dia bahkan sudah membuat saya bosan :=). Percaya dengan saya, masalah utamanya bukan karena Eijkman itu dipegang asing. Kalo demikian, bukankah negara ini juga banyak menerima hibah dari asing? Contohnya pada kasus Tsunami di Aceh, asing semua yang bantu kan? Tapi kan pemda Aceh, bahkan pasca Mou Helsinki, tetap tunduk dengan pemerintah pusat. Walaupun GAM memiliki lobi internasional yang kuat, tidak sekonyong2 dia bisa melakukan gerakan bersenjata seperti dulu.
Kalo Merry pernah baca tentang kasus malpraktek yang bersliweran di media kita, rasanya sudah bisa dibayangkan kualitas dokter kita seperti apa. Saya tidak ada maksud mendiskreditkan Prof Sangkot dan dokter Hera, karena saya sangat menghormati mereka berdua. Mereka berdua termasuk peneliti yang memiliki idealisme tinggi. Namun dalam ilmu kedokteran, kan hanya dikenal dua jenis manusia. Yaitu Dokter dan pasien. Sudah bisa dibayangkan nasib pasien di Indonesia seperti apa.
Untuk berkomunikasi dengan dokter memang memerlukan trik yang sangat khusus. Salah satu triknya adalah kita harus mengerti tentang ilmu kedokteran juga (walaupun hanya teori). Bila kita bisa nyambung dengan mereka, karena menggunakan 'bahasa' yang sama, semua akan lancar. Memang ini tidak adil, namun ini fakta. Lucu kalo semua orang harus menguasai ilmu kedokteran, hanya untuk berkomunikasi dengan dokter. Soal arogansi dokter akan panjang membahasnya. Tapi kalau asing sudah diseret-seret, untuk masalah Eijkman ini kita mesti banyak belajar dari perdamaian antara GAM dan RI. Walaupun ada segudang kepentingan asing, akhirnya Aceh damai juga. Mestinya solusi serupa juga bisa diterapkan untuk mengatur lembaga Eijkman.
Mungkin kalo Ristek bisa melakukan pendekatan gaya 'perdamaian Aceh' ini, Eijkman akan mau lebih diatur. Konsep ini bisa juga tuh diusulkan ke Pak Koes :=).
Sekarang balik 'on the record' lagi. Solusi jangka pendek yang saya usulkan adalah Menristek harus memiliki kursi di MWA (majelis wali amanat) perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN). Kita tahu PT-BHMN ada 6, yaitu ITB, UGM, UI, IPB, USU, dan UPI. Sudah tak perlu dijelaskan lagi, bahwa peran ke6 PTN itu sangat strategis dalam menentukan pembangunan nasional. MWA adalah organ tertinggi dari suatu PT-BHMN. Anggota MWA adalah pimpinan Universitas, unsur masyarakat, karyawan, dan mahasiswa. Berdasarkan peraturan pemerintah mengenai PT-BHMN, Mendiknas adalah anggota MWA. Namun Menristek tidak. Ini konyol, karena adalah absurd membayangkan bahwa ristek tidak punya 'tangan' di PT BHMN. Sebenarnya, kalo presiden dan wapres mau intervensi, maka mau tidak mau Depdiknas harus terima bahwa Ristek punya hak suara di MWA. Saya sangat mendukung kalau Menristek menjadi anggota MWA, sama seperti Mendiknas. Namun lagi-lagi, solusi ini sangat politis dan menyinggung kepentingan parpol. Sudah jamak diketahui bahwa diknas adalah sapi perahan parpol atau kelompok tertentu, karena anggaran diknas yang sangat-sangat-sangat besar.

Tidak ada komentar: